KORUPSI-KORUPSI SI KABUPATEN GROBOGAN.
Kabupaten Grobogana adalah kabupaten terluas kedua di Jawa Tengah
setelah Cilacap. Berpenduduk 1,4 juta dan sebagian besar berprofesi sebagai
petani sehingga Grobogan dikenal sebagai lumbung pangan di Jawa Tengah dengan
andalah produk pertaniannya yaitu padi,jagung,kedelai,melon dan polowijo. Total
rencana pendapatan dan pembiayaan dalam APBD nya tahun 2012 sekitar 1,1
Trilyun. Pendapatan Asli Daerahnya (PAD) sekitar 60 M per tahun tetapi sebagian
besar PAD tersebut dinikmati PNS di Pemkab Grobogan dalam bentuk tunjangan
tambahan penghasilan yang diberikan tiap bulan. Sayangnya dari dulu hingga
sekarang tidak banyak kemajuan yang progresif atas kondisi infrastruktur di
Grobogan terutama jalan. Dimana-mana jalan rusak. Alasan klasik yang selalu
disampaikan oleh Bupati dan pejabat-pejabat lainnya kepada masyarakat adalah
kondisi tanah yang labil sehingga jalan cepat rusak dan dana terbatas sehingga
tidak mampu membangun jalan Kabupaten yang kondisinya 70% rusak dari
total jalan kabupaten sepanjang kurang lebih 800 km. Sementara itu ironisnya
jalan-jalan yang dibangun dengan cor beton yang dibiayai dari hasil hutang
Pemkab Grobogan kepada Bank Jateng sebesar 95 M tahun 2008 saat ini banyak yang
sudah rusak terutama ruas jalan gajahmada,jalan pulokulon dan lain-lain.
Rusaknya jalan tersebut secara cepat diakibatkan korupsi sebagi factor
utamanya. Beberapa kasus korupsi dalam pengerjaan jalan tersebut telah diusut
Kejaksaan dan beberapa terdakwanya telah menjalani hukuman di LP Purwodadi
dengan rata-rata hukuman 1,5 tahun penjaran sesuai vonis pengadilan negeri Purwodadi.Sedangkan
PNS di PU Bina Marga sebagai Pejabat Pembuat Komitmen dalam kasus jalan itu
belum menjalani hukuman karena masih dalam proses banding.
KKN Makin Bersemi Di Grobogan
Dalam kondisi infrastruktur yang masih kurang memadai di Grobogan tersebut
ironinya KKN makin bersemi di Grobogan. Walau Grobogan sangat dekat jaraknya
dengan Ibu Kota propinsi Jawa Tengah ini tapi tidak menyurutkan langkah para
koruptornya untuk pantang mundur mencuri uang rakyat sebanyak-banyaknya dalam
berbagai bentuk sehingga bisa dikatakan selain sebagai lumbung pangan
kecenderungannya saat ini juga sebagai lumbung koruptor. Melihat kondisi nyata
di lapangan terutama dalam proses tender,indikasi jual beli jabatan di jajaran
Pemkab, perijinan yang tidak transparan dan hasil pembangunan di lapangan yang
cepat rusak serta tidak sesuai spek maka bisa dikatakan makin hari KKN makin
menggurita di Grobogan. Pasal “wani piro” terkesan makin mengemuka di Grobogan
dalam berbagai proses pemerintahan baik itu penegakan hukum, perijinan, promosi
mutasi jabatan di Pemkab, penyusunan APBD atau persetujuan alokasi anggaran
oleh DPRD, penyusunan Perda oleh DPRD, proses tender baik itu tender tanpa
penunjukan langsung maupun langsung dan lain-lain. Korupsi yang massif
dilakukan di tubuh Pemkab Grobogan adalah fenomena pembuatan Surat Perjalanan
Dinas fiktif (SPD fiktif).SPD fiktif ini masih menjadi andalan di Unit/SKPD
Pemkab Grobogan sebagai dana taktis untuk membiayai berbagai kegiatan ataupun
lobi-lobi. SPD fiktif juga telah menjadi andalan jajaran Pemkab Grobogan untuk
memperoleh penghasilan tambahan selain dari honor berbagai kegiatan yang kadang
kegiatan yang diadakan terkesan mengada-ada. Tak heran bila untuk belanja
pegawai saja habiskan 60% dari APBD. Sementara sangat sedikit porsinya untuk
pembangunan sarana publik. Korupsi dalam hal pengemplangan asset negara juga
terjadi di Grobogan. Banyak aset negara yang ”jatuh” ke tangan mantan pejabat
atau pejabat di Grobogan seperti tanah yang saat ini dipakai untuk STM Pemnas,
Kantor Orari Grobogan dan lain-lain. Indikasi KKN makin subur juga bisa dilihat
dari informasi berbagai sumber terpercaya bahwa dulu jaman Bupati Agus (periode
2001 sd 2006) harga jual beli jabatan masih kisaran puluhan juta saat ini di
masa Bupati Bambang (2006 sd sekarang) harga jual beli jabatan di jajaran
Pemkab ada yang mencapai nilai ratusan juta rupiah. Bahkan yang paling
fenomenal adalah jual beli kursi honorer dari harga 15 juta sd 30 juta yang
oknum-oknumnya kebanyakan dari anggota DPRD sendiri dimana salah satunya yang
fenomenal adalah adik Bupati Grobogan bernama BG yang telah lama malang
melintang disebut-sebut sebagai mafia honorer yang meloloskan banyak honorer
dari praktek jual beli kursi honorer tersebut. Jual beli jabatan juga isunya
merambah dalam penentuan menjadi kepala sekolah atau perpanjangan jabatan
kepala sekolah atau pejabat yang menjelang masa persiapan pensiun.
Nepotisme juga makin kental di
lingkungan Pemerintahan Grobogan. Keluarga Bupati dan Wakil Bupati terutama
adik Bupati mendapatkan privelege (keistimewaan) dalam memperoleh proyek-proyek
di Grobogan termasuk bantuan sapi ternak dari Pusat juga bisa diperoleh adik
Wakil Bupati walaupun dari informasi di lapangan dengan cara membuat kelompok
peternak fiktif. Keluarga Bupati merupakan keluarga yang ditakuti kepala-kepala
dinas. Para kepala dinas tidak berkutik kalau menghadapi kemauan keluarga
Bupati untuk mendapatkan proyek. Oknum-oknum anggota DPRD terutama oknum-oknum
di Komisi C juga melakukan modus korupsi dalam pengadaan proyek dengan cara
menjadi makelar dimana untuk menggolkan kontraktor mendapatkan suatu proyek di
dinas-dinas oknum-oknum anggota DPRD minta komisi hingga 10% dari nilai proyek.
Proyek-proyek besar juga tak luput dari praktek kong kalikong yang melibatkan
oknum DPRD, eksekutif dan kontraktror. Sebagai contoh proyek pembangunan
jalan-jalan rusak dengan cor beton dengan dana utangan 95 M dari Bank Jateng
tahun 2008 itu sebelum dilaksanakan telah diatur sebelumnya nanti siapa saja
yang akan mengerjakannya di sebuah hotel berbintang di luar kota Purwodadi
dengan para makelarnya adalah seorang Kepala Dinas saat itu, adik Bupati dan
beberapa oknum anggota DPRD. Model-model pengkondisian sebelum pelaksaan lelang
digunakan koruptor di Grobogan untuk mengeruk keuntungan pribadi. Model
pengkondisian dengan menggunakan preman juga digunakan misalnya dalam tender di
Dinas Irigasi tahun 2010 dan 2011 dimana saat lelang dijaga oleh preman.
Kontraktor yang bukan dari grup preman ini disuruh pulang dengan diberi
kompensasi uang saku seperluanya dan siapa yang mekat meneruskan ikut tender
harus membayar fee 17% kepada preman tersebut dimuka. Kelompok preman tersebut
diduga digerakkan oleh kontraktor-kontraktor hitam yang dekat elit kekuasan
karena terlihat yang menang tender ya itu-itu saja alias loe lagi loe lagi
(kontraktor yang dekat dengan kekuasaan). Kenapa proyek irigasi dikondisikan
seperti itu karena proyek-proyeknya menurut seorang kontraktor memberikan
keuntungan yang besar misalnya saja pengerukan sungai (normalisasi sungai).Kontrolnya
juga sulit. Premanisme ini aman karena konon di back up oknum aparat, oknum
legeslatif dan oknum eksekutif yang sudah diatur akan kecipratan fee. Akibat
fee atau pungli atau komisi yang mengalir kemana-mana tentu saja dampaknya
mempengaruhi kualitas hasil proyek. Kualitas dikorbankan. Hasil pembangunannya
pun cepat rusak. Rakyat lagi yang rugi. Instansi seperti PU Bina Marga, Dinas
Irigasi, Cipta Karya, Pertanian, Dinas Pendidikan dan Dinas Kesehatan merupakan
dinas-dinas basah yang tinggi potensi korupsinya. Korupsi yang paling favorit
bagi oknum-oknumnya adalah dalam proyek-proyek pengerukan, pengadaan
obat,peralatan laboratorium dan pendidikan serta pekerjaan konsultan dan
kegiatan kursus-kursus.
Korupsi di Grobogan juga ditemukan
dalam berbagai praktek sunatan bantuan baik bantuan sosial maupun teknis
misalnya kepada guru-guru dalam rangka melanjutkan pendidikannya. Seorang
sumber pernah mencatat potongan dalam suatu proyek yaitu sebagai berikut :
Rincian pengeluaran per proyek:
-Pengkondisian dg Dinas 3%
-PPN+PPh 12%
-Tanda tangan kontrak Panitia 1%
-Pembuatan Kontrak 1%
-PPK 1%
-PPKom 1%
-PPTK 1%
-Pengawas 1%
-Bendahara 0,5%
-Laborat 1%
-Turun ke HPS 5%
-Biaya buat penawaran 1%
TOTAL 28,5%
SISA UNTUK LAPANGAN 71,5% saja
Sementara itu untuk proyek melalui
pengadaan langsung (dibawah 100 juta) pemotongannya bisa mencapai 10% yang
harus dibayar dimuka oleh kontraktor kepada oknum kepala dinas atau panitia.
Korupsi Terselubung Juga Makin Marak
Korupsi ”terselubung” atau
”legal” yang intinya memboroskan keuangan negara juga terjadi dalam bentuk
kunjungan-kunjungan kerja baik itu legeslatif maupun eksekutif ke daerah lain
di jawa maupun luar jawa. Sementara hasil kunjungan kerja tersebut tidak jelas
dan tidak banyak dirasakan masyarakat. Anggota DPRD periode 2009 sd 2014 sejak
dilantik sampai dengan sekarang saja sudah puluhan kali lakukan kunjungan kerja
ke luar jawa yang tiap kunjungan kerja tersebut kisaran uang rakyat yang
dihabiskan sebesar 50 sd 100 juta rupiah. Lokasi-lokasi yang pernah menjadi
kunjungan kerja tersebut adalah Tenggarong, Batam (2 kali), Bali (2 kali),
Banjarmasin, Menado, Padang, Pangkal Pinang, Makasar dan lain-lain. Bayangkan
jika 1 komisi yang berjumlah sekitar 10 orang berangkat kunjungan kerja dan
belum lagi biaya untuk para pendampingnya dari SKPD terkait atau Setwan sendiri
berapa biaya yang dihabiskan Sekali kunker luar jawa rata-rata tiap anggota
DPRD mendapatkan kurang lebih 5 sampai dengan 10 jutaan tergantung juga
posisinya anggota DPRD tersebut apakah unsur pimpinan atau anggota biasa.
Akibat pemborosan uang rakyat melalui ”korupsi terselubung yang legal” ini
sebenarnya mengakibatkan peningkatan pelayanan kepada publik menjadi tidak
maksimal. Ironis, kunjungan kerja jalan terus tetapi jalan-jalan di Grobogan
sebagian besar rusak dan dengan tidak bosan-bosannya bila Pemkab atau DPRD
dikritik masyarakat soal jalan jawabannya selalu dana terbatas. Mbangun jalan
terbatas tapi kunjungan kerja tidak terbatas ? Belum lagi korupsi terselubung
melalui penghapusan aset berupa mobil-mobil dinas di Pemkab yang dijual dengan
harga murah dibandingkan dengan harga pasar dan yang mendapatkannya atau
membeli juga pejabat tertentu (tidak dibuka secara umum untuk mendapatkan harga
maksimal). Ada juga SKPD/Dinas patungan membeli mobil dinas kijang LGX untuk
diberikan kepada mantan Sekda Grobogan yang memasuki masa pensiun sebagai kado
pensiun. Korupsi di Grobogan makin bersemi dengan berbagai modusnya.
Politisi Busuk Dan Politik Uang Akar
Reproduksi Koruptor
Korupsi di Grobogan makin
menjadi-jadi justru setelah era reformasi. Kalau dulu episentrumnya di jajaran
eksekutif saat ini merambah ke legeslatif juga. Ibaratnya korupsi berjamaah
makin merajalela. Reproduksi dan masifikasi korupsi dalam era otonomi saat ini
justru digerakkan oleh para politisi. Politik biaya tinggi dianggap sebagai
sumber masalah dan reproduksi koruptor. Politik biaya tinggi pada dasarnya
karena bobroknya mental para politisi sendiri akibat parpol yang tidak selektif
dan ”mata duitan” (yang paling penting berduit) dalam merekrut kader serta
parpol yang tidak konsisten menjalankan visi misinya serta AD ART nya. Parpol
kenyataanya hanya sebagai tempat mencari makan para kadernya yang kebanyakan
sebelumnya menjadi pengangguran. Maka pada saat menjadi anggota DPRD atau
Bupati banyak ditemui praktek ”petruk dadi ratu” atau ”kere munggah bale” yang
rakus menghisap apa saja demi kantung pribadi dan keluarga. Implementasi
nilai-nilai kejuangan parpol hanya omong kosong. Politik biaya tinggi dalam
meraih kursi yang jadi lingkaran setan korupsi. Politik biaya tinggi
diakibatkan oleh besarnya dan maraknya politik uang yang dijalankan para
politisi busuk itu untuk meraih kursi baik itu di Pemilu Legeslatif (Pileg)
maupun Pilkada untuk memilih Bupati. Era reformasi melalui proses demokratisasi
yang diandalkan tersebut ternyata melahirkan politisi-politisi busuk yang
menghalalkan segala macam cara. Untuk meraih kursi saat ini perlu ”investasi”
maka saat menduduki kursi tersebut logika dagang yang digunakan dengan pola
cara-cara ”return on investment” atau ”golek balen”. Cara-cara yang digunakan
para politisi adalah melalui pungutan liar perijinan, praktek makelaran baik
proyek maupun jabatan, meminta fee dari proses pengadaan atau setoran
dari SKPD-SKPD (Instansi/Dinas/Unit di Pemkab) dan lain-lain. Mereka tidak
berpikir panjang tetapi jangka pendek (yang penting kaya dan modal kembali).
Akibat aksi politisi yang korup dan transaksional tersebut dalam rangka golek
balen serta akumulasi modal pencalonan jabatan berikutnya maka pejabat-pejabat
di bawahnya (birokrat) pun akhirnya mau tak mau menjadi mesin uang dan berpola
sama yaitu ikut menjadi koruptor dengan berbagai modus sesuai posisi dan
kesempatannya. Pejabat atau staf yang idealis malah terkesan di”kotak”.Birokrasi
jadi rusak.Pinter Bodo sama saja yang dibutuhkan untuk naik jabatan adalah yang
banyak setor (wani piro) dan loyal kepada penguasa. Promosi atas dasar
kinerja,kompetensi bahkan integritas termarginalkan. Asal administratif sesuai,
jadi team sukses dan mau ”wani piro” maka pangkat naik. Lingkaran setan korupsi
menggelinding dan lama-lama semakin besar. Mulai dari staf hingga elit terlibat
proses korupsi dan bahkan reproduksi koruptor. Korupsi telah dianggap sebagai
budaya. Yang tertangkap dianggap apes saja tanpa memberikan efek jera. Akibat
ini semua pelayanan publik makin terabaikan , tidak transparan dan proses
birokrasi menjadi mahal serta korup. Rakyat juga akhirnya yang rugi.
Bisa dikatakan Bupati,Pimpinan dan
Anggota DPRD saat ini menjabat di kursinya akibat dari politik uang yang
dijalankan. Saat pileg dari berbagai informasi di lapangan rata-rata politik
uang berkisar antara 5000 sampai dengan 20 ribu per orang. Untuk Pilkada
januari 2011 lalu di lapangan uang yang dibagikan per orang antara 5000 sampai
dengan 15 ribu rupiah. Politik uang makin subur dalam masyarakat Grobogan
karena Grobogan juga lumbung orang miskin dimana jumlah warga miskin di
Grobogan sekitar sepertiga jumlah penduduk. Kemiskinan makin mempersubur
politik uang disamping juga faktor pengawasan yang lemah dari KPUD,Polisi,Badan
Pengawas Pemilu,LSM dan masyarakat sendiri. Apa sih yang gak bisa dibeli di
Grobogan ?
Penindakan Melempem, Tidak Tuntas
Dan Tebang Pilih
Motonya Kabupaten Grobogan adalah
Grobogan Bersemi kenyataannya dirasakan yang makin bersemi adalah korupsinya.
Ironisnya dalam 10 tahun terakhir ini banyak kasus korupsi yang dilaporkan
masyarakat (LSM dan lain-lain) ke Kejaksaan Purwodadi dan Kepolisian tetapi
sangat sedikit yang diproses hingga ke pengadilan. Kasus korupsi yang
dilimpahkan ke pengadilan pun dalam vonis hakim ada yang mencederai rasa
keadilan masyarakat yaitu dengan putusan bebas atas dugaan korupsi pembangunan
Gedung BKK Purwodadi. Dalam kasus ini Kejaksaan pun saat itu berjanji akan
lakukan kasasi atas vonis bebas pengadilan negeri Purwodadi tersebut anehnya
keinginan untuk kasasi tersebut tidak jelas nasibnya. Sayangnya hal ini
terkesan basa basi ?
Dalam 10 tahun terakhir ini hanya
segelintir kasus korupsi yang menyita perhatian publik tuntas hingga ke
pengadilan yaitu :
1. Kasus korupsi
KTP 1,7 miliar (2003-2004) dimana 3 terdakwanya sudah dihukum masing-masing 1,5
tahun penjara (sudah bebas saat ini) dan 1 terdakwanya yang dihukum 4 tahun
penjara belum dihukum karena ajukan kasasi dan infonya telah membayar mafia
peradilan hingga statusnya dibuat “sudah meninggal dunia” sehingga tidak dapat
dieksekusi padahal kenyataannya saat ini masih hidup.
2. Kasus korupsi
pembangunan Gedung BKK 264 juta yang sebenarnya melibatkan anak Bupati sebagai
kontraktornya tetapi gunakan atau pinjam perusahaan lain dan yang diusut dan
dimintai pertanggungjawaban adalah si pemilik perusahaan tersebut yang
sebenarnya tidak tahu menahu proses teknis di lapangan. Tiga terdakwa termasuk
mantan Dirut Bank BPR BKK anehnya di vonis bebas karena oleh hakim tidak
melihat kerugian hasil audit BPKP sebesar Rp 264.090.887 sebagai kerugian
Negara. Pasalnya jumlah itu dianggap hakim masih bagian dari 10 persen
keuntungan pelaksana jasa konstruksi. Majelis hakim saat itu menyampaikan bahwa
salah satu dari empat unsur delik di kedua pasal tuntutan (Pasal 2 dan 3 UU
Tipikor) yaitu unsur kerugian negara tidak terbukti. Namun ketiga unsur lain
seperti unsur pelaku, memperkaya diri sendiri maupun orang lain, serta
penyalahgunaan wewenang terpenuhi. Sungguh ironis padahal kenyataannya beberap
aspek pembangunan Gedung BKK tidak sesuai spek. Keadilan sejati dalam kasus
tersebut mati di pengadilan negeri Purwodadi.
3. Kasus korupsi
pembangunan jalan gajahmada paket I 2 M yang libatkan pimpinan kontraktornya
(CV Sukma Jaya) dan pejabat pembuat komitmen dari PU Bina Marga. Masing-masing
di vonis 1,5 tahun penjara. Satu sudah ditahan satu terdakwa lagi yaitu yang
dari PU Bina Marga belum ditahan karena proses kasasi (banding). Karena terdakwa
dari PU tersebut PNS maka cara mengulur-ulur eksekusi dengan banding ini
dilakukan agar nantinya pas turun putusannya sudah pensiun statusnya sehingga
tidak merugikan kepegewaian yang bersangkutan.Cara ini dipakai juga dalam
eksekusi terdakwa kasus korupsi KTP.
4. Kasus korupsi
pembangunan jalan danyang pulokulon 9 M dan truko jekektro 11 M yang libatkan
pimpinan kontraktornya yaitu dari PT Karisma dan pejabat pembuat komitmen dari
BU Bina Marga. Masing-masing divonis 2,5 tahun penjara dan 1,5 tahun penjara.
Satu sudah ditahan satu terdakwa lagi yaitu yang dari PU Bina Marga belum
ditahan karena proses kasasi.Terdakwa bos PT Karisma sudah bebas saat ini
walaupun baru menjalani 1,5 tahun penjara dari 2,5 tahun vonisnya tetapi ada
kompensasi dengan membayar 1 milliar.
5. Kasus korupsi
perawatan mobil dinas DPRD 1,8 M yang saat ini masih proses persidangan yang
dlibatkan 3 mantan Sekretaris Dewan dan Ketua DPRD Grobogan masih terus
diperiksa oleh Kejaksaan sebagai tersangka dan belum ditahan sebagaimana
tersangka lainnya. Indikasi bahwa Kejaksaan Purwodadi tebang pilih.
6. Kasus kecil
penyimpangan APBDesa yang libatkan oknum beberapa kepala desa.
Sementara itu masih banyak kasus
korupsi di tangan penegak hukum baik itu kejaksaan dan kepolisian yang tidak
jelas juntrungannya bahkan cenderung di 86 kan. Kasus-kasus korupsi besar
tersebut antara lain :
1. Kasus korupsi jln gajahmada paket
II yang dikerjakan PT Lembu Karya milik besan Bupati Grobogan;
2. Kasus korupsi pemotongan bantuan
sapi di geyer yang diduga libatkan mantan kepala dinas peternakan;
3. Kasus korupsi pengadaan bahan
kimia PDAM;
4. Kasus korupsi upah pungut dan
dana bagi hasil cukai;
5. Kasus korupsi pembangunan
jaringan Sutet yg libatkan salah satu anggota DPRD Grobogan dari Golkar;
6. Kasus korupsi tunjangan
komunikasi intensif DPRD;
7. Kasus korupsi PER;
8. Kasus korupsi buku ajar 36 M;
9. Kasus korupsi dana tak tersangka
APBD 2004-2005;
10. Kasus korupsi kredit usaha tani
2 M;
11. Kasus ilegal loging geyer yang
libatkan mantan Bupati;
12. Kasus korupsi pembangunan
gedung Setda Grobogan;
13. Kasus korupsi DAK Pendidikan;
14. Kasus korupsi dalam pembangunan
jalan cor beton dari dana utangan 95 M;
15. Kasus korupsi pembangunan waduk
sangeh dan lain-lain;
Dalam 10 tahun terakhir ini bisa
dilihat pemberantasan korupsi sangat susah menyentuh lingkaran elit misalnya
Bupati dan keluarganya. Mereka seperti steril untuk diusut. Indikasi adanya
tebang pilih dalam pemberantasan korupsi oleh aparat penegak hukum.Indikasi
lain adanya tebang pilih adalah dalam kasus mobdin DPRD dimana ketua DPRD sudah
dijadikan tersangka tapi belum ditahan sementara yang lain sudah ditahan.
Upaya Elit Meredam Aparak Penegak
Hukum
Berbagai cara dilakukan elit-elit di
Pemerintahan Grobogan untuk ”meredam” pengusutan kasus korupsi di Grobogan oleh
aparat penegak hukum baik yang sifatnya antisipatif maupun ”lobi-lobi” khusus
sesuai kasus yang tengah berkembang. Bahkan di Pemkab Grobogan sendiri ada
pejabat kunci yang disebut sebagai markus yang berperan mengatur atau
penghubung unsur eksekutif dengan unsur aparat penegak hukum (oknum). Beberapa
cara yang telah dilakukan antara lain :
1. Pemberian dana
hibah kepada Kejaksaan Purwodadi;
2. Sumbangan
peresmian perbaikan kantor Kejaksaan Purwodadi;
3. Pemberian
tunjangan muspida kepada Kajari dan Kapolres;
4. Pemberian mobil
hasil penghapusan mobil dinas Pemkab kepada Kajari;
5. Rekrutasi anak
Kajari menjadi honorer di Pemkab;
6. Penyedian
berbagai kemudahan dan fasilitas lainnya kepada Kajari dalam berbagai bentuknya
misalnya supir Pemkab ada yang pernah antar jemput Kajari ke suatu kota dan
lain-lain.
Selain cara diatas konon kabarnya untuk meredam kasus melalui cara
penyuapan kepada oknum-oknum penegak hukum. Seorang sumber menyampaikan info
bahwa untuk meredam pengusutan kasus korupsi jalan gajahmada paket II yang
libatkan keluarga Bupati maka ada transaksi 1,5 M kepada oknum-oknumnya. Untuk
mendapatkan vonis bebas di pengadilan negeri Purwodadi para terdakwa korupsi
pembangunan gedung BPR BKK Purwodadi konon juga telah gelontorkan duit kepada
mafia peradilan. Seorang sumber lain juga menyampaikan untuk antisipasi
pengusutan korupsi di proyek-proyek maka sudah bukan rahasia lagi jika anggaran
untuk proyek dipotong dan kemudian disetorkan kepada oknum-oknum penegak hukum.
Dari survey KPK sendiri tergambar bahwa kepolisian dan kejaksaan termasuk
institusi yang diragukan integritasnya. Soal integritas inilah yang juga
menjadi penghambat pemberantasan korupsi di daerah termasuk di Grobogan.
Perlawanan (Kontrol) Media,Ulama,
Masyarakat Perlu Ditingkatkan
Melihat fenomena melempemnya aparat
penegak hukum dalam memberantas korupsi di Grobogan maka kontrol
media,ulama,masyarakat terutama tokoh-tokohnya perlu ditingkatkan sehingga
memaju kinerja kejaksaan dan kepolisian menjadi lebih baik dan lebih giat. Saat
ini bisa dikatakan kontrol media,ulama,masyarakat termasuk LSM dalam
pemberantasan korupsi masih amat lemah.
Selama ini Koruptor Grobogan
keenakan karena masyarakat Grobogan sendiri cuek,diam dan tidak kritis
melakukan perlawanan terhadap melempemnya pengusutan korupsi.Tidak banyak LSM
yang konsisten dan kredibel dalam perjuangannya dalam melakukan pelaporan dan
pengawalan kasus korupsi. Kondisi ini diperparah lagi dengan lemahnya kontrol
media terhadap pengusutan kasus korupsil. Sebagai contoh peliputan sidang
pengadilan atas korupsi mobil dinas DPRD saja sangat minim saat ini.
Seorang Kajari pernah menilai bahwa
di Grobogan ini masyarakatnya kurang kritis, cenderung permisif terhadap
perilaku korup pejabat dan enggan melapor bahkan menjadi saksi dalam kasus
korupsi bahkan justru melindungi para koruptor. Kajari tersebut mengakui
kesulitan mengorek keterangan dari masyarakat. Masyarakat seperti ketakutan
berhadapan dengan aparat penegak hukum dan cuek serta adem ayem dalam
pemberantasan korupsi. Para pejabat di lingkaran pemerintahan Grobogan juga
saling melindungi dan menutupi. Ada yang berpendapat sayangnya Grobogan tidak
ada kampus-kampus yang mahasiswanya biasanya kritis mengawal dan protes dalam
soal pengusutan kasus korupsi. Ulama,kiai dan juga pemuka agama juga terkesan
”diam” soal dakwah dalam pemberantasan korupsi bahkan ada ulama atau kiai yang
bisa di”beli”. Mereka diam ketika pondoknya masjidnya dibantu penguasa. Bahkan
mereka seperti cuek dan mendiamkan politik uang yang berkembang di daerahnya.
Ulama dan kiai saat ini sudah kehilangan wibawa dan pengaruhnya dimasyarakat
akibat ulah mereka sendiri yang terlibat politik praktis dan perilakunya
transaksional dengan penguasa.
Kesimpulannya dengan melihat situasi
saat ini maka antar elemen pilar demokrasi yaitu pers,LSM,masyarakat,ulama dan
lain-lain perlu membentuk jejaring dan konsolidasi dalam rangka meningkatkan
kontrol terhadap kinerja kepolisian dan kejaksaan dalam penuntasan pengusutan
kasus korupsi. Peran pers dalam peliputan kasus korupsi perlu ditingkatkan.
Saat ini saja publik Grobogan tidak banyak tahu proses sidang pengadilan thd
kasus korupsi Mobdin DPRD yg tengah digelar di PN Tipikor Semarang krn pers
tidak banyak memuat beritanya.Peran LSM dan masyarakat untuk melaporkan kasus
korupsi dan mengawal pengusutan kasus korupsi perlu ditingkatkan.Apa perlu
masyarakat bikin pengumpulan uang yang diberikan kpd arapat hukum untuk adu sogokan
atau melawan mafia hukum yg bungkam usut korupsi karena sogokan ? Peran ulama
juga begitu misalnya dengan cara sesering mungkin memberikan dakwah atau kotbah
anti politik uang dan pemberantasan korupsi. Semua elemen ini idealnya bergerak
secara progresif sesuai posisi masing-masing dalam pengawalan pengusutan kasus
korupsi sehingga ujung-ujungnya tercapai kesejahteraan masyarakat itu sendiri.
Sebenarnya sederhana kuncinya jika Grobogan ingin sejahtera yaitu dengan
penegakan hukum dan pemberantasan korupsi. Dengan korupsi yang ditekan habis
maka kualitas hasil pembangunan akan meningkat. Kondisi ini tentunya menjadi
landasan yang baik dalam membuka ruang bagi masyarakat memperoleh
kesejahteraannya secara luas.Bagaimana mungkin misalnya hasil pertanian masyarakat
akan lancar di distribusikan jika jalannya cepat rusak akibat korupsi.
Bagaimana mungkin investor akan masuk jika proses perijinan korup dan
berbelit-belit dan sebagainya.
Semoga bermanfaat.
Pgy dr berbagai sumber.
Grobogan,1 Februari 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar